Di kaki Gunung Gede, terhampar sebuah wilayah yang dahulu dikenal sebagai Cikole. Wilayah ini dianugerahi kesuburan tanah dan keindahan alam yang memukau. Pohon-pohon rindang, ladang hijau yang membentang, dan sungai-sungai kecil yang mengalir jernih menjadikan Cikole sebagai surga kecil yang tersembunyi di Jawa Barat. Penduduk lokal hidup harmonis dengan alam, menjalankan tradisi Sunda yang telah diwariskan selama berabad-abad.
![]() |
Lapang Merdeka |
Namun, kedamaian itu mulai berubah ketika orang-orang asing datang. Di antara mereka adalah Andries Christoffel Johannes De Wilde, seorang administrator Belanda yang terpikat oleh pesona Cikole. Ia melihat lebih dari sekadar keindahan; De Wilde melihat potensi besar wilayah ini. Pada 13 Januari 1815, ia mengusulkan penggantian nama Cikole menjadi Sukabumi, yang berarti "tanah kebahagiaan" dalam bahasa Sunda. Nama ini mencerminkan esensi wilayah yang membawa ketenangan dan kemakmuran.
Perubahan nama tersebut menandai awal transformasi besar. Sukabumi mulai menarik perhatian para pengusaha Eropa yang mendirikan perkebunan teh, kopi, dan karet. Tanah vulkanik yang kaya mineral membuat hasil bumi Sukabumi sangat diminati, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Para pemilik perkebunan membangun rumah-rumah bergaya kolonial yang mewah, menciptakan jurang sosial antara pendatang dan penduduk asli yang kini banyak menjadi buruh di lahan mereka sendiri.
Meski menghadapi tekanan sosial dan budaya, penduduk lokal tetap mempertahankan tradisi mereka. Pasar tradisional menjadi ruang pertemuan antara dua dunia: modernitas kolonial dan budaya Sunda. Kerajinan tangan, makanan lokal, dan kesenian tradisional terus hidup dan bahkan menjadi daya tarik bagi para pendatang.
Pada tahun 1914, Sukabumi resmi ditetapkan sebagai gemeente atau kota praja oleh pemerintah Hindia Belanda. Status ini mempercepat pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Kota ini pun berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan perkebunan yang penting di Jawa Barat.
Gunung Gede tetap menjadi simbol spiritual dan alam yang mempersatukan. Bagi masyarakat lokal, gunung ini adalah sumber kekuatan dan berkah leluhur. Bagi para pendatang, ia menjadi tempat rekreasi yang memesona. Harmoni antara manusia dan alam tetap menjadi kekuatan utama Sukabumi di tengah modernisasi.
Kini, Sukabumi bukan sekadar kota, tetapi simbol harapan, kebahagiaan, dan pertemuan antara tradisi dan masa depan. Generasi baru tumbuh dengan semangat menjaga warisan budaya sekaligus membawa kota ini ke arah kemajuan. Dari Cikole yang sederhana hingga Sukabumi yang dinamis, kota ini menjadi cermin bagaimana identitas lokal mampu bertahan dan berkembang di tengah arus perubahan.